Mata Air itu Jernih dan Bersih > Kultur itu Kearifan dan Kebijaksanaan > Spiritual itu Damai dan Hening >


Antara Abah, Ema, Akhmad Sahal, dengan Pernyataan Gusdur

ad+1


Di Suku Sunda entah dari kapan kata budaya panggilan orangtua Bapak/Ayah/Papah selayaknya orang Indonesia kebanyakannya menjadi Abah, dan Ibu/Bunda/Mamah menjadi Ema. Sementara itu kebanyakan budaya orang Arab ke orang tuanya memanggil Bapak/Ayah/Papah menjadi Abi, Ibu/Bunda/Mamah menjadi Umi.


Abah & Ema Di Sawah.

Lalu kalau dikaitkan dengan pernyataan gusdur "Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab.Bukan untuk 'aku' jadi 'ana', 'sampeyan' jadi 'antum', 'sedulur' jadi 'akhi',... Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, tapi bukan budaya Arabnya.". Berarti, di Sunda pun sudah dari dulu, dari jaman orang-orang tua terdahulu melakukan apa yang Gusdur sampaikan, yaitu contohnya Abi jadi Abah, Umi jadi Ema.

Sebelumnya biar tidak salah paham dan keliru, disini konteksnya bukan melarang atau tidak boleh sama sekali menggunakan atau mengadopsi budaya Arab, bahkan tidak harus menolak. Tapi melihat dalam konteks budaya, dimana setiap negara itu pasti di anugerahi budaya yang berbeda-beda.

Artinya tak lantas lebih Alim atau lebih Islami hanya karena memakai jubah, surban, atau kosa kata antum, akhi dll, termasuk memanggil panggilan orang tua jadi Abi atau Umi. 

Karena Abu Jahal pun yang terkenal dengan kebenciannya dan menentang sekali terhadap Nabi Muhammad saw, itu sama pakai jubah pakai surban, dan kosa kata arabnya.

Intinya mungkin waktu itu kenapa orang-orang tua terdahulu di suku Sunda, ingin menyampaikan pesan lebih baik jadi diri sendiri dalam hal budaya sebagai identitas tempat dimana kita tinggal. Tapi dalam hal spiritual khususnya dalam hal menyerap ajaran Agama Islam yang dibawa Nabi Adam as sampai Nabi terakhir Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para Sahabat, Tabi'in, Tabiut Tabi'in, & Alim Ulama, itu masalah keyakinan yang paling dasar dalam hati dengan Illahi, termasuk bagaimana mempelajari Al Qur'an & Hadis yang pakai bahasa Arab.

Untuk lebih jelasnya berikut mengutip artikel tulisan dari Akhmad Sahal seorang intelektual muda NU. 

" Lantas, bagaimana kita memposisikan relasi antara Islam dan Arab? Bagaimana memahami hubungan keduanya?
Di satu sisi, Islam lahir di Arab, Nabi dan kitabnya Arab. Namun, Islam bersifat shalihun li kulli zaman wa makan.Artinya kira-kira adalah “relevan untuk segala zaman dan tempat”. Dalam konteks pernyataan Gusdur tadi, Gusdur tampil dengan idenya yang masyhur: “Pribumisasi Islam,” keislaman yang mengakomodasi dan dapat diserap budaya lokal.

Sayangnya, Pribumisasi Islam seringkali direduksi dengan contoh yang kemudian menjadi kontroversial, misalnya Gusdur mengganti “Assalamualaikum” dengan selamat pagi. Contoh itu mereduksi poin utama Gusdur bahwa universalisme Islam mesti ditampilkan dalam ekspresi-ekspresi kultural setempat.

Gusdur menjelaskannya dlm tulisannya yang lain: “Universalisme dan kosmopolitanisme Islam”. Dalam artikel tersebut, Gusdur menyatakan, Islam mengandung dimensi ajarannya yang universal: jaminan dasar. Sebuah jaminan yang diberikan oleh agama samawi terhadap keselamatan warga baik sebagai individu maupun kelompok.

Jaminan keselamatan tersebut terdiri dari keselamatan fisik, keyakinan/agama, harta, keluarga/keturunan, dan profesi. Jaminan keselamatan terhadap 5 elemen itulah yang disebut sebagai “tujuan syariah”. Dan itu universal, selalu relevan di manapun kapanpun.

Namun, selain dimensi universal, Islam juga tampil sebagai peradaban yang kosmopolit, terbuka terhadap akuluturasi dan adopsi budaya lain. Prinsip-prinsip universal Islam tersebut menurut Gusdur selalu ditampilkan dalam ekspresi sistem dan budaya yang beragam. Hal ini kemudian memperkaya peradaban Islam.

Kemudian, perwujudan prinsip-prinsip universal Islam dalam konteks budaya tertentu itulah yang disebut Gusdur sebagai pribumisasi. Pribumisasi Islam di Indonesia bisa berbeda hasilnya dengan Pribumisasi Islam di Arab karena konteksnya berbeda. Pribumisasi Islam zaman sekarang bisa berbeda dengan Pribumisasi Islam zaman pramodern, lagi-lagi karena konteks sejarahnya berbeda.

Pribumisasi Islam Gusdur muaranya adalah: kesetiaan terhadap Islam, loyalitas terhadap NKRI, dan merawat budaya sendiri harus jalan beriringan. Dalam tingkat tertentu, sikap Gusdur tersebut mendapat penjelasan fiqhiyahnya dari Mbah Sahal Mahfudz dengan fiqh baru-nya.

Kembali ke “Islam dan Budaya Arab”, pernyataan Gusdur di awal adalah penegasan tentang pentingnya penerjemahan universalisme Islam dlm kontkes setempat. Dan itu artinya penegasan tentang Islam Indonesia untuk kaum muslim Indonesia, bukan Islam Arab. Hanya dengan cara itulah justru terbukti Islam itu shalih li kulli zaman wa makan, relevan untuk setiap masa dan tempat."

























0 komentar:

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com tipscantiknya.com