Mengapa orang Baduy begitu kuat berjalan kaki? Hingga kini
belum ada yang bisa menemukan jawaban yang benar-benar pas untuk pertanyaan
itu. Orang luar di kota-kota besar, Jakarta, Bandung, Bogor, Tangerang, sering
terheran-heran melihat rombongan Orang Baduy berjalan kaki tanpa alas kaki
apapun, menyusuri jalan-jalan aspal di tengah panas terik matahari.
Mereka
berjalan dengan cara berbaris rapih, dari depan ke belakang, sehingga tidak
menganggu lalu lalang lalu lintas di tengah-tengah kota. Kadang terlihat
berjalan kaki dalam rombongan berjumlah tiga atau empat orang menyusuri jalan
sepanjang rel kereta api.
Mereka bisa mendatangi kota-kota besar di Pulau Jawa,
Jakarta, Tangerang, Serang, Bogor, Bekasi, Karawang, Subang bahkan Kota Bandung
dengan berjalan kaki. Ke Jakarta dan sekitarnya biasa mereka tempuh dengan berjalan
kaki selama empat hari. Ke kota Bogor dan wilayah Tangerang bisa mereka tempuh
dua sampai tiga hari. Ke Kota Bandung dari Kampung Baduy yang jaraknya mencapai
ratusan kilo meter bisa ditempuh selama kurang lebih satu minggu. Ya semuanya
dilakukan dengan berjalan kaki, tanpa alas kaki.
Berjalan kaki adalah hal yang biasa dilakukan dalam berbagai
aktivitas sehari-hari. Kala matahari muncul di ufuk timur, Orang Baduy, tua
muda, laki-laki perempuan, bergegas
keluar, meninggalkan rumah dan kampung, menuju hutan, ladang, saung atau
menaiki gunung dan bukit. Mencari kayu, membersihkan ladang, menggarap huma,
atau sekedar menjaga ladang padi dari ancaman hama. Atau juga pergi membawa
alat pikulan untuk mengangkut berbagai
macam hasil bumi yang beratnya mencapai puluhan bahkan ratusan kilo. Buah
duren, kayu, petai, buah pinang, dan lainnya untuk dijual di pasar-pasar di
daerah di wilayah luar Baduy.
Anak-anak umur di bawah sepuluh tahun turun dari bukit
sambil memanggul potongan batang kayu yang ukurannya lebih besar dari ukuran
tubuh mereka, adalah pemandangan biasa yang dapat dilihat sehari-hari. Tak
pernah ada cerita mereka mengeluh karena kecapaian setelah menempuh jarak jauh
dengan berjalan kaki.
Ketika para tamu dari luar datang berkunjung ke
perkampungan dan ke wilayah hutan Baduy, anak-anak muda Baduy dengan suka rela
mendampingi dan membantu membawakan aneka bawaan dengan berat puluhan kilogram.
Kala diantara pengunjung ada yang kelelahan hingga tak kuat lagi berjalan kaki,
jangan khawatir, anak-anak muda Baduy bisa membantu dengan cara menggendong
meski harus menaiki bukit dan gunung serta menuruni lembah-lembah curam.
Hingga kini belum ada yang bisa menjawab bagaimana bisa
begitu kuat Orang Baduy dapat berjalan kaki. Kalau dilihat dari segi gizi
makanan yang mereka konsumsi kelihatannya tidak ada korelasi. Orang Baduy
mengkonsumsi makanan cukup sederhana, tidak mengada-ada. Mereka hanya mengkonsumsi
makanan yang tersedia dan disediakan oleh alam di lingkungan. Nasi putih, ikan
asin, dan lalaban daun.
Hampir tidak pernah lebih dari itu (kecuali saat ada
upacara adat atau pesta perkawinan). Atau ada makanan lain yang dibawa oleh
para pendatang. Air yang mereka minum, bukan air mineral dalam kemasan botol
seperti yang biasa diminum oleh orang kota, tetapi air murni diambil langsung
dari mata airnya. Air itu mereka simpan dalam penampungan yang terbuat dari
bambu. Kebanyakan Orang Baduy meminum air putih mentah yang diambil langsung
dari mata air.
Melihat cara mereka mengkonsumsi makanan, seharusnya yang
lebih kuat dan bertenaga saat berjalan kaki ialah orang–orang kota yang mengaku
modern dan terbiasa mengkonsumsi aneka makanan yang bergizi, bahkan dengan
tambahan aneka macam makanan suplemen. Mengapa malah orang Baduy yang begitu
lebih kuat?
Tidak relevan mengaitkan kekuatan fisik mereka dengan teori
ilmiah berdasarkan ilmu biologi dan kesehatan serta kualitas gizi. Dalam
perspektif kehidupan Orang Baduy, kelihatannya tidak ada benang merah yang bisa
disambungkan antara kecukupan mengkonsumsi gizi makanan dengan sebuah kekuatan
fisik. Tentu ada sesuatu di luar itu semua yang membuat Orang Baduy lebih kuat
dan sehat serta berdaya tahan dalam mengatasi berbagai macam penyakit.
Orang
Baduy selain memiliki ketahanan dan kekuatan fisik, juga memiliki tubuh yang
sehat. Tidak ada penyakit-penyakit “besar” yang biasa menjangkit orang kota
seperti lever, ginjal, paru-paru, jantung, dan lain-lain. Penyakit yang sering
mereka terima paling-paling penyakit kulit.
Jaro Nalim, seorang sesepuh suku Baduy Dalam di Perkampungan
Cikartawana, mengatakan dengan bahasa yang sangat sederhana tetapi bermakna
dalam. “Lamun kami mah menanam, menjaga, dan memelihara pohon dan tanaman yang
buahnya kami makan. Orang kota mah cuma maunya ngadahar doang.” (kalau kami
‘Orang Baduy’ menanam, menjaga, dan memelihara tiap tanaman yang buahnya kami
makan. Kalau orang kota cuma maunya makan saja).
Dalam keyakinan mereka, segala yang ada di alam, termasuk
yang mereka makan sehari-hari, adalah makhluk Tuhan yang juga memiliki ruh
kehidupan. Cara orang Baduy yang bersahaja dalam memperlakukan alam menempatkan
mereka berada dalam kemenyatuan dengan alam lingkungan, senantiasa mendapat dukungan
dan penguatan dari alam dimanapun mereka berada. Air murni yang diminum adalah
air yang benar-benar asli belum terkontaminasi oleh bakteri dan unsur kimiawi.
Nasi yang dimakan berasal dari padi yang ditanam tanpa pupuk kimiawi. Dedaunan
yang dikonsumsi sebagai lalab berasal dari pohon-pohon yang tumbuh tanpa pupuk
kimiawi. Begitu juga ikan sungai yang ditangkap dan dimakan belum
terkontaminasi oleh air yang terkotori oleh limbah yang bisa mereduksi kualitas
protein dalam tubuh ikan.
“Upami urang deket jeung ngabantu ngamihara alam, maka urang
geh bakal dibantu dan dilindungi ku alam” (kalau kita dekat dengan alam dan
membantu serta memelihara alam, maka alam pun akan membantu dan melindungi
kita), kata Jaro Nalim.
Tapi ketika ditanya mengapa Orang Baduy harus berjalan kaki,
tidak boleh naik kendaraan apapun jika bepergian? Jawabannya sederhana dan
polos, “tos kitu, teu bisa dibahas eta mah.” (sudah begitu, tak bisa dibahas
itu mah). Menyatu dan jagalah alam, maka kita akan kuat, sehat dan selamat. (UTEN
SUTENDY)
0 komentar: